Advertisements
|
Ilustrasi : Aborsi / Menggugurkan Kandungan (Janin) |
Macam-macam Aborsi Menurut Perspektif Fiqih
- Aborsi Spontan (al-isqâth al-dzâty)
Janin gugur secara alamiah tanpa adanya pengaruh dari luar, atau gugur
dengan sendirinya. Biasanya disebabkan oleh kelainan kromosom.
Hanya sebagian kecil yang disebabkan oleh infeksi, kelainan rahim atau
kelainan hormon. Kelainan kromosom tidak memungkinkan mudhghah tumbuh
normal. Kalaupun tidak gugur, ia akan tumbuh dengan cacat bawaan.
- Aborsi karena darurat atau pengobatan (al-isqâth al-dharry/al-‘ilâjiy).
Aborsi jenis ini dilakukan karena ada indikasi fisik yang mengancam
nyawa ibu bila kehamilannya dilanjutkan. Dalam hal ini yang dianggap
lebih ringan resikonya adalah mengorbankan janin, sehingga menurut agama
aborsi jenis ini diperbolehkan.
Kaidah fiqih yang mendukung adalah: “Yang lebih ringan di antara dua
bahaya bisa dilakukan demi menghindari resiko yang lebih membahayakan.”
- Aborsi karena khilaf atau tidak disengaja (Khatha’).
Pada kasus ini, aborsi dilakukan tanpa sengaja. Misalnya seorang pemburu
yang hendak menembak binatang buruannya tetapi meleset mengenai seorang
ibu yang sedang hamil ketika ibu itu sedang berjalan di persawahan
sehingga mengakibatkan ibu tersebut keguguran.
Tindakan pemburu tersebut tergolong tidak sengaja.
Menurut fiqih, pihak yang terlibat dalam aborsi seperti itu harus
mempertanggung jawabkan perbuatannya. Dan jika, janin keluar dalam
keadaan meninggal ia wajib membayar denda bagi kematian janin atau uang
kompensasi bagi keluarga janin.
- Aborsi yang menyerupai kesengajaan (syibh ‘amd).
Aborsi dilakukan menyerupai kesengajaan. Misalnya seorang suami yang
menyerang isterinya yang sedang hamil hingga mengakibatkan keguguran.
Serangan itu tidak diniatkan kepada janin melainkan kepada ibunya,
tetapi kemudian karena serangan tersebut, janin yang dikandung oleh ibu
tersebut meninggal karena sang ibu megalami keguguran.
Pada kasus ini menurut fiqih pihak penyerang harus diberi hukuman, dan
hukuman semakin berat jika janin yang keluar dari perut ibunya sempat
menunjukkan tanda-tanda kehidupan.
Menurut fiqih penyerang dikenai diyat kamilah jika ibunya meninggal
yaitu setara dengan 50 ekor unta ditambah dengan 5 ekor unta (ghurrah
kamilah) atas kematian bayinya.
- Aborsi sengaja dan terencana (al-‘amd).
Aborsi ini dilakukan dengan sengaja oleh seorang perempuan yang sedang
hamil, baik dengan cara minum obat-obatan yang dapat menggugurkan
kandungannya maupun dengan cara meminta bantuan orang lain (seperti
dokter, dukun dan sebagainya) untuk menggugurkan kandungannya.
Aborsi jenis ini dianggap berdosa dan pelakunya dikenai hukuman karena
dianggap sebagai tindak pidana yaitu menghilangkan nyawa anak manusia
dengan sengaja. Sanksinya menurut fiqih sepadan dengan nyawa dibayar
dengan nyawa (qishash).
Mengenai hukum menggugurkan kandungan (aborsi) itu sendiri dibagi menjadi dua, yaitu :
A. Aborsi Setelah Ditiupnya Ruh pada Janin
Ditiupnya ruh/nyawa pada janin yang berada dalam kandungan berarti janin
tersebut sudah hidup, adapun masa ditiupnya ruh adalah setelah 120 hari
(4 bulan) sebagaimana dijelaskan dalam hadits :
“Sesungguhnya setiap orang dari kalian dikumpulkan dalam penciptaannya
ketika berada di dalam perut ibunya selama empat puluh hari, kemudian
menjadi ‘alaqah (zigot) selama itu pula kemudian menjadi mudlghah
(segumpal daging), selama itu pula kemudian Allah mengirim malaikat yang
diperintahkan empat ketetapan dan dikatakan kepadanya, tulislah
amalnya, rezekinya, ajalnya dan sengsara dan bahagianya lalu ditiupkan
RUH kepadanya.” (Shohih Bukhori, no.3208 dan Shohih Muslim, no.2643)
Semua ulama sepakat bahwa menggugurkan kandungan setelah kandungan
berumur 120 hari/4 bulan yang berarti setelah ditiupnya ruh pada janin
hukumnya adalah haram.
B. Aborsi Sebelum Ditiupnya Ruh pada Janin
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum aborsi yang dilakukan sebelum
janin ditiupkan ruh. Perincian mengenai perbedaannya adalah sebagai
berikut:
- Hukumnya haram secara mutlak
Pendapat ini merupakan pendapat “al-aujah” dalam madzhab Syafi’i, yang
didukung oleh Syekh Ibnul Imad dan beberapa ulama’ dari kalangan madzhab
syafi’i.
Alasannya ketika mani/sperma sudah menetap di dalam rahim, maka mani
tersebut sudah akan tiba waktunya dan sudah siap untuk ditiup ruh.
Imam Ghozali dalam kitab Ihya’ menyatakan; ketika mani laki-laki
(sperma) sudah bercampur dengan mani perempuan (ovum) maka sudah siap
menerima kehidupan, karena itu merusaknya adalah suatu tindakan kriminal
(kejahatan/jinayat).
- Boleh secara mutlak
Pendapat ini juga merupakan pendapat madzhab Hanbali sebagaimana
dituturkan oleh Imam Al Jauzi. Pendapat ini juga merupakan pendapat yang
mu’tamad dalam madzhab Maliki, Imam Malik rohimahulloh mengatakan :
“Semua yang digugurkan oleh seorang wanita, baik itu berupa gumpalan
daging (mudhghoh) atau segumpal darah (alaqoh) adalah suatu kejahatan
(jinayah).
Pendapat ini diikuti oleh Syekh Abu Ishaq Al Maruzi dari kalangan
madzhab syafi’i, bahkan menurut Imam Romli pendapat yang rojih (unggul)
adalah diperbolehkannya menggurkan akndungan sebelum ditiupnya ruh.
Pendapat ini juga dinyatakan oleh beberapa ulama’ madzhab Hanafi,
sedangkan dari kalangan madzhab Maliki yang mengikuti pendapat ini
adalah Syekh Ibnul Kamil Al-Lakhmi, sebagian ulama’ madzhab Hanbali juga
ada yang mengikutiu pendapat ini.
- Boleh jika ada udzur
Pendapat inilah sejatinya pendapat madzhab Hanafi, sebagian udzur yang
memperbolehkan pengguguran kandungan sebelum ditiupnya ruh, sebagaimana
dijelaskan Syekh Ibnu Wahban.
Semisal ketika seorang wanita sudah dinyatakan positif hamil, namun air susunya tidak bisa keluar.
Sedangkan ayah dari bayi tersebut tidak memiliki uang untuk menyewa
wanita untuk menyusui anaknya ketika bayinya lahir nanti, dan
dikhawatirkan apabila kandungan tersebut tidak digugurkan, nanti saat
bayi tersebut lahir akan mati karena ibunya tidak bisa menyusui.
- Makruh secara mutlak
Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Romli dari kalangan madzhab Syafi’i,
beliau menyatakan bahwa hukum pengguguran kandungan sebelum ditiupnya
ruh itu dimungkinkan makruh tanzih atau makruh tahrim, dan hukum makruh
tahrim akan semakin kuat ketika umjur janin di dalam kandungan mendekati
masa ditiupnya ruh.
Pendapat ini juga dinyatakan oleh Syekh Ali bin Musa, ulama’ dari
kalangan madzhab Hanafi, beliau memberikan alasan dimakruhkannya sebab
ketika mani sudah masuk ke dalam rahim maka sudah siap untuk menerima
kehidupan.
Selain itu pendapat ini juga diikuti oleh sebagian ulama’ madzhab Maliki
dalam masalah pengguguran kandungan sebelum masa kandungan mencapai 40
hari.
Dengan demikian, jelas bahwa Islam sangat menghargai nyawa manusia
meskipun masih berupa janin. Oleh karena itu, jika pasutri ingin
membatasi kelahiran anak, lebih baik dengan metode pencegahan yakni
salah satunya cara azl (mengeluarkan sperma di luar tubuh istri),
daripada melakukan
aborsi atau pengguguran kandungan yang sudah jelas diharamkan dalam agama serta dilarang dalam hukum negara.
Advertisements
kajian ilmu fiqih bab salat (pengertian salat) dari kitab mukhtasar fathul muin syarah qurotul'in maaf mau nambahin resensi aja
BalasHapus